Sample Sidebar Module

This is a sample module published to the sidebar_top position, using the -sidebar module class suffix. There is also a sidebar_bottom position below the menu.
Login
Register

Sample Sidebar Module

This is a sample module published to the sidebar_bottom position, using the -sidebar module class suffix. There is also a sidebar_top position below the search.
Kantor Hukum
  • fr-FR
  • English (UK)


Achmad Yani Arifin, S.H.,S.Th.I.,C.Me.,CTA

Pendahuluan
    Dalam masalah perdata sebenarnya ada dua macam gugatan, satu gugatan permohonan atau gugatan voluntair, dan kedua yaitu gugatan kontentiosa. Namun dalam praktek penyebutanya diserderhankan menjadi sekedar Permohonan dan Gugatan. Permohonan ialah untuk masalah yang diajukan ke Pengadilan bersifat kepentingan sepihak semata dan tidak terdapat sengketa dengan pihak lain (M. Yahya Harapan: Hukum Acara Pedata hlm 30).

Sedangkan untuk Gugatan mengandung sengketa antara dua pihak atau lebih, dan permasalahan yang diajukan diminta diselesaikan dalam gugatan tersebut.
   

Istilah wanprestasi sudah lazim didengar dalam pergaulan masyarakat sehari-hari, kata ini digunakan ketika seseorang tidak menepati janjinya untuk membayar utang kepada yang mempiutangi, itulah pengertian sederhana dari wanprestasi. Namun dalam kalangan sarjana ahli hukum makna waprestasi tidak sesedarhan itu, makanya kemudian istilah wanprestasi berkembang menjadu istilah cedera janji, ingkar janji, atau melanggar janji.
    Hampir semua literatur mengatakan bahwa istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wansprestatie” yang bermakna kealpaan, kelalaian, atau tidak memenuhi/menepati kewajiban dalam perjanjian (Amran Suadi: Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum, hal 56). Dalam istilah Inggris wanprestasi lazim disebut dengan break of contract yang berarti pihak yang berkewajiban (debitur) tidak memenuhi kewajibanya. Ada juga yang mengartikan secara bahasa, “wan” artinya buruk atau jelek, sedang “prestasi” adalah kewajiban.

Pembahasan
    Sebelum lebih jauh membahas wanprestasi, ada baiknya terlebih dahulu dipahami pengertian “Prestasi”, sebab terjadinya wanprestasi berawal dari prestasi yang tidak ditunaikan oleh seseorang. Prestasi adalah sesuatu yang harus dipenuhi atau ditunaikan oleh para pihak dalam suatau perjanjian (M. Khoidin, Tanggung Gugat Dalam Hukum Perdata, hal.32). Jadi, tidak hanya satu pihak saja yang yang wajib menunaikan prestasi, akan tetapi kedua belah pihak yang membuat perjanjian wajib memenuhi prestasi. Dengan demikian prestasi merupakan kewajiban bagi pihak lain, dan hak di satu pihak, atau bisa disebut dengan kewajiban timbal-balik.
    Banyak defenisi tentang wanprestasi, namun pada umumnya atau secara garis besar para sajana hukum merumuskan wanprestasi sebagai suatu peristiwa atau keadaan, dimana debitur tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatanya dengan baik, dan debitur punya unsur kesalahan atasnya (j. Satrio, Wanprestasi ; Menurut KUHPerdata, Doktrin dan Yuresprudensi, hal.3). pada titik ini dapat ditarik kesimpulan bahwa sumber dari wanprestasi adalah perikatan.
    Selanjutnya, karena wanprestasi bersumber dari perikatan, maka sebelum menentukan adanya wanprestasi, terlebih dahulu harus dibuktikan perikatan atau perjanjian yang ada berdasarkan sahnya perjanjian atau perikatan sebagaimana dimaksud pasal 1320 KUHPerdata, “yaitu (1) kesepakatan mereka yang mengikatkan diri, (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan, (3) suatu pokok persoalan tertentu, (4) suatu sebab yang tidak terlarang. Syarat pertama dan kedua yang bisa disebut dengan syarat subjektif karena menyangkut soal orang-orang yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan keempat adalah syarat objektif karena menyangkut objek dari peristiwa yang dijanjikan. Apabila perikatan tidak memenuhi syarat subjektif maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan, namun bila perikatan tidak memenuhi syarat objektif perikatan tersebut batal demi hukum (I Ketut Oka Setiawan, Hukum Perikatan”, Hal 60).
    Wanprestasi terjadi disaat (a) debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, (b) debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana mestinya, (c) debitur memenuhi prestasi tetapi tidak tepat pada waktunya (terlambat), (d) melaksanakan perbuatan yang dilarang dalam kontrak (R. Subekti, Hukum Perjanjian., hal 45). Apabila dalam suatu perjanjian tidak ditentukan mengenai batas waktu pemenuhan atau pelaksanaan prestasi, maka menyatakan seorang debitur melakukan wanprestasi diperlukan surat peringatan tertulis/somasi.
    Dalam pasal 1238 KUHPerdata dinyatakan, “si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau berdasarkan perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”. Dari ketentuan pasal tersebut dapat dikatakan bahwa debitur dinyatakan wanprestasi apabila sudah ada somasi.
    Disaat debitur sudah dinyatakan wanprestasi, maka menurut ketentuan pasal 1243 KUHPerdata dapat dituntut pengantian beruba biaya (kosten), kerugian (schaden), dan bunga (interessen). Biaya adalah segala bentuk pengeluaran atau ongkos-ongkos yang dikeluarkan oleh pihak kreditur. Kerugian adalah suatu kerugian yang nyata-nyata diderita oleh kreditur, terutama kerugian berupa harta benda. Sedangkan kerugian dalam bentuk bunga adalah kehilangan keuntungan yang diharapkan diperoleh kreditur apabila debitur tidak wanprestasi.
    Namun dalam keadaan memaksa (force majeure atau overmacht) debitur tidak dapat dituntut untuk menganti rugi, biaya dan bunga hal ini sesuai dengan pasal 1245 KUHPerdata. Keadaan memaksa ini diklasifikasikan menjadi dua, (1) bersifat absolut yaitu sesuatu yang terjadi di luar kemapuan debitur dan debitur tidak bisa melaksankan sama sekali seperti bencana alam. (2) bersifat relative atau nisbi yaitu suatu keadaan yang menyebabkan debitur masih mungkin melaksanakan prestasinya, tetapi akan mengorbankan yang lain.
    Bila persoalan wanprestasi masuk ranah pengadilan atau gugatan, maka dalam pembuktian perdata berlaku asas yaitu barang siapa mendalilkan bahwa ia wajib membuktikan dalil tersebut. Artinya, para pihak masing-masing memiliki kewajiban untuk membuktikan dalil masing-masing. Demikian isi asas actori incumbit probation yang terkandung dalam pasal 163 H.I.R, pasal 283 R.Bg dan pasal 1865 KUHPerdata.
    Pembuktian yang dilakukan bersifat historis, karena mencoba merekontruksi peristiwa masa lalu yang telah terjadi secara konkreto. Jadi, yang harus dibuktikan dalam persidangan adalah peristiwa atau kejadian, bukan hukumnya. Hukumnya tidak perlu dibuktikan oleh para pihak, karena hakim secara eks officio hakim dianggap telah mengetahui hukumnya (ius curia novit). Artinya, dari peritiwa atau fakta yang telah dibuktikan tersebut, kemudian hakim memberikan hukumnya atas peristiwa tersebut dan menetapkan sebagai peristiwa yang sudah terbukti untuk selanjutnya menetapakan fakta atau peristiwa tersebut sebagai peristiwa hukum.

Penutup.
    Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat membela diri yaitu dengan (1) mengajukan tuntutan adanya keadaan memaksa, (2) mengajukan alasan bahwa kreditur sendiri telah lalai, (c) mengajukan alasan bahwa kreditur telah melepaskan haknya untuk menuntut ganti rugi.
    Lebih jauh, konsep waprestasi adalah domain kajian hukum perdata yang bertujuan untuk mengembalikan hak keperdataan berupa benda. Sedangkan penipuan adalah kajian hukum pidana yang bertujuan memberi efek jera. Namun tidak jarang keduanya terjadi tumpang tindih antara wanprestasi dan penipuan dalam KUHP khususnya pasal 378. Untuk mengetahu batasan antara wanprestasi dan penipuan yaitu terletak pada “tempus delicti” atau “waktu” ketika perjanjian atau kontrak ditutup atau ditandatangani. Apabila ‘setelah” (post factum) kontrak ditutup/ditandatangani diketahu tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu dari salah satu pihak, maka perbuatan itu merupakan “wanprestasi”.
    Jika kontrak ditutup atau ditandatangani “sebelumnya” (ante factum) ada tipu muslihat, rangkaian kata bohong atau keadaan palsu, martabat palsu dari salah satu pihak, maka perbuatan itu merupakan suatu perbuatan “penipuan”. Akhirnya, berbicara hukum adalah berbicara interprestasi dan interperstasi tidak akan pernah selesai. Selamat menginteprestasi atas fakta-fakta, namun ingat apa yang pernah diungkap Rene Descartes omne illud verum, quoud clare et distincte pericipitur (apa yang benar adalah apa yang ditangkap secara jelas dan terpilah-pilah).

 

Hubungi Kami

Kami siap melayani dan membantu dengan senang hati atas pertanyaan, permintaan serta pengaduan Anda terkait layanan melalui media sosial di bawah ini