Oleh : Yani Arifin
Membicarakan jaminan, berarti mengandaikan adanya perikatan antara kreditur (bank) dan debitur. Dalam konteks ini, kreditur (bank) meminjamkan sejumlah dana kepada debitur, dan debitur memberikan sesuatu guna memberikan keyakinan kepada kreditur (bank) akan pengembalian kewajiban yang dapat dinilai dengan uang (jaminan). Jaminan dalam kontruksi hubungan pinjam-meminjam antara kreditur dan debitur merupakan perjanjian tambahan (accessoir).
Jaminan disini kita fokuskan jaminan hak tanggungan, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 4 tahun 1996, “Hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya”.
Menurur Prof Harsono sebagaimana dikutip Salim HS dalam bukunya Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia, Penguasaan hak atas tanah, berisi kewenangan bagi kreditur untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dijadikan jaminan. Tetapi bukan untuk dikuasainya secara fisik dan digunakan, melainkan untuk menjualnya jika debitur cidera janji dan mengambil dari hasil seluruhnya atau sebagian pembayaran lunas hutang debitur kepadanya.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa jaminan yang diagunkan debitur kepada kreditur (bank) bukanlah milik mutlak dari kreditur (bank). Kreditur (bank) dapat menguasai jaminan secara mutlak apabila debitur telah dinyatakan wansprestasi secara hukum dan juga upaya restrukurisasi gagal menyelamatankan kredit debitur. Penguasaan kreditur (bank) terhadap jaminan debitur juga tidak bisa dilakukan dengan serta merta. Namun harus sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan satu tujuan untuk pelunasan hutang debitur.
Kembali kepada pertanyaan pada judul di atas, mengenai kewenangan kreditur (bank) menempel stiker, menyemprot dengan cat ataupun memasang plang pada aset debitur yang mengalami gagal bayar. Pada point ini memang tidak ada perintah atau larangan peraturan yang menegaskan secara eksplisit. Sebab utang/kredit debitur tidaklah termasuk dalam prinsip kerahasiaan bank. Berdasarkan Pasal 40 ayat (1) UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan simpanannya, jadi mengenai pinjaman dan jaminan debitur bukan merupakan rahasia perbankan.
Hemat penulis, tidak ada alasan yang kuat bagi bank untuk menempel stiker, menyemprot dengan cat ataupun memasang plang pada aset debitur yang mengalami gagal bayar. Sebab ini bisa menjadi kontra produktif terhadap usaha debitur dalam mengembalikan kewajiban yang tertunggak. Dengan kata lain dapat dikatakan, adanya peringatan bank di jaminan debitur akan menimbulkan kepercayaan rekan bisnis khususnya dan masyarakat pada umumnya pada debitur akan menurun. Konsekwensi logisnya, bila kepercayaan turun, usaha bangkit yang dilakukan debitur guna membangun bisnis akan semakin sulit.
Jika tujuan kreditur (bank) memberi peringatan pada aset debitur bertujuan untuk mempermalukan debitur di muka umum an sich, ini bisa dikategorikan pelanggaran hukum yang dapat dituntut baik secara pidana maupun perdata oleh debitur. Pidana yang dimaksud adalah pasal 310 KUHP, “Barang siapa sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang dengan menuduhkan sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam karena pencemaran dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.” Selain ranah hukum pidana, terhadap perbuatan penghinaan ini dapat dilakukan upaya hukum perdata sebagaimana dijelaskan oleh J. Satrio dalam bukunya Gugat Perdata atas Dasar Penghinaan sebagai Tindakan Melawan Hukum. Sesuai Pasal 1372 KUHPerdata, “Tuntutan perdata tentang hal penghinaan diajukan untuk memperoleh penggantian kerugian serta pemulihan kehormatan dan nama baik”.
Terlebih lagi bila oknum pegawai kreditur (bank), sejak melakukan penagihan sudah mengancam debitur akan mempermalukan didepan umum dengan cara menempel stiker, menyemprot dengan cat ataupun memasang plang pada aset yang dijadikan jaminan. Disini telah nyata bahwa perbuatan menempel stiker, menyemprot dengan cat ataupun memasang plang pada aset yang dijadikan jaminan, bukan bertujuan mencari solusi atas problem debitur, tapi mempermalukan debitur.
Adalah benar bahwa jaminan yang telah diikat dengan Hak Tanggungan menganut asas publisitas. Namun asas publisitas bukan berarti kreditur (bank) bisa dengan seenaknya melakukan tindakan menempel stiker, menyemprot dengan cat ataupun memasang plang pada aset. Maksud dari asas publisitas adalah ketika jaminan didaftarkan menjadi Hak Tanggungan. Peralihan hak atas tanah dapat dicek di BPN, masyarakat dapat mengetahui kebenaran keberadaan bukti kepemilikan tanah. Pendaftaran hak tanggungan bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada para pihak yang berkepentingan dalam jaminan Hak Tanggungan. Dengan didaftarkannya Hak Tanggungan maka akan muncul hak kebendaan, munculnya hak kebendaan ini mengakibatkan kedudukan kreditur (bank) pemegang hak tanggungan menjadi kreditur preferen.
Akhirnya, memang tidak ada larangan atau perintah yang eksplisit dalam peraturan maupun UU yang berlaku perihal pemasangan plang pada aset debitur. Peraturan hanya memerintahkan kepada kreditur (bank) untuk membuat pengumuman bila hendak merencanakan lelang terhadap aset debitur. Kreditur (bank) harus lebih bijak disaat hendak memasang plang terhadap aset debitur, harus dipertimbangkan segi positif dan negatifnya. Berbeda jika debitur sudah tidak menempati aset yang dijadikan jaminan, atau sudah sulit diajak komunikasi. Jika kondisinya seperti ini, pemasangan plang merupakan suatu keharusan. Namun selama debitur masih menempati aset serta masih memiliki itikad baik menyelesaikan kewajiban, pemasangan plang merupakan tindakan yang kurang tepat.
PUSTAKA
Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
R. Soesila, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana : Serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal
Rachmadi Usman, Hukum Lelang
Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia
J. Satrio, Gugatan Perdata atas Dasar Penghinaan Sebagai Tindakan Melawan Hukum